Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

Tuesday, 22 October 2019

[PUISI]



URIP IKU URUP

Katanya jangan seperti lilin. Sebab,
lilin hanya menerangi sekeliling, namun
tak terang pada dirinya.

Katanya lagi, jangan menjadi seperti api. Sebab,
dia membakar segalanya tanpa ampunan.

Lalu apa makna urip iku urup?

"Itu pepatah jawa," tandasnya jelas. Urip iku
kudu urup. Artinya, "hidup itu harus menyala."
Menyala buat sendirinya, terlebih sesamanya.

(Temanggung, 2019)

[PUISI]



MENARI DI TEPIAN BATAS NAFSU
Pesona lekuk tubuh indahmu membuat liurku mengalir.
Wajah nan ayu, kulit seputih susu,
seolah jadi lambaian surga di batas neraka.

Aku yang katanya alim seolah tersandra nafsu.
Bila sadar, aku segera lari ke langgar
sambil menengadahkan tangan meminta ampun.
Nyatanya benar kata orang, "ujian lelaki
adalah harta, tahta, wanita."

Meski abai pada dua diantaranya, namun
yang satunya seolah menancap lama
pada lamunan hingga aku seraya berkata,
"Sini! Dekaplah, dan menari bersamaku."

(Temanggung, 2019)

[PUISI]



MAAF, SEKEDAR MENGINGATKAN!

Bila salah, ingatkan!
Bila lalai, ingatkan!
Bila lupa, ingatkan!
Bila ingat, kerjakan!

(Temanggung, 2019)

[PUISI]



KACAMATA KUDA

Waktu itu celetuk Bapak:
"Nak, masih ingat teman masa kecilmu?
Sekarang ia mengabdi untuk negara.
"

Tak terasa cemas apalagi panas,
senyum simpul jadi senjata yang pas.
Padahal, sebenarnya dalam hati aku pilu.
Namun, aku tetiba teringat andong dengan kudanya.
Tak lihat kiri dan kanan, cukup menatap lurus
akibat kacamata kuda yang ia kenakan.

(Temanggung, 2019)

[PUISI]



TERBIASA BIASA

Ini bukan curhat apalagi sambat.
Sekedar mengungkapkan apa yang tertambat.
Kala itu sadarku membawa pesan,
belum sempat kubaca bila itu pertanda.

Sebenarnya apa yang buat manusia resah?
Mungkin karena tidak bisa mewujud sempurna.
Andaikata dia diberi segalanya,
mungkinkah sudah dapat emas masih minta berlian?

Ah, sadar jika aku bukan siapa-siapa.
Tak seperti lainnya yang lenggang senang.
Kadang benci harus seperti ini.
Tadinya aku yakin akan diri sendiri,
namun nyatanya, terlalu lama biasa,
sehingga terbiasa biasa.

(Temanggung, 2019)

[PUISI]



SENANDUNG PUISI ALAM

Riuh ramai kota, bosan dibuatnya!
Sejenak ingin pergi di mana si hijau pemeran utamanya.
Hela nafas sejenak melambat saat itu.
Seketika terhenyak melihat indahnya sekelilingku

Si batang yang menyimpan bulir padi seolah menari
Pagi itu, embun pagi tak ubah bagai bedak
Mempercantik setiap tampilan si hijau

Sejuknya...

Tak hanya sejuk kudapat, tapi rasa nyaman.
Burung-burung ketika itu tak henti bernyanyi riang,
menyambut pagi yang tak selamanya akan terjadi,
seperti cuit, cuit, fuhh, wushh....

Suara deras aliran sungai pun tak kalah indahnya.
Sinergi antar kesemuanya, tak bisa dilupa.

(Temanggung, 2017)

[PUISI]


KRITIS

Kulihat berita-berita yang mengulas ulah para politisi itu
Ketika yang diberi amanah saling fitnah, dan saling sindir tak karuan
Tak menarik! timpal ku dalam hati. Semua itu sudah terlalu biasa
Hal tak berguna yang dipertontonkan sang pemangku kebijakan
Bosan....bosan sekali melihat mereka!!
Mendadak inginku jadi seorang yang apatis saja. Karena tak ada untungnya,
orang dengan idealisme tinggi saat ini pun akan luluh bila diberi umpan jabatan.

Siapa yang tak mau duduk manis dibelakang skenario kehidupan orang banyak?
Siapa? Kamu? Kau? Mereka? Kita?

Negara ini terlalu kasihan bila harus berakhir seperti ini saja.
Dia tak salah apa-apa. cukup dengan candaan yang tak lucu ini!
Jangan sampai keadaan ini memaksa leviathan muncul ke permukaan.
Tak mau bila aku hidup dalam keadaan seperti Hobbes.

Tolong jangan buat negeri ini tak berbudi lagi karena saling benci.
Aku tak mau tanah tumpah darah ini hanya jadi tanah rebutan kekuasaan.
Penindasan tak lagi dalam bentuk fisik, tapi lebih sadis dari itu.
Hak kita dirampas tanpa adanya rasa iba dari mereka para "spesialis".
Kita dipaksa bungkam dan percaya pada apa yang dikatakan.

Tidak ada yang merasa bersalah sebelum adanya inkrah.
Semua pesakitan yang menjadi sumber cerita dianggap tukang fitnah.
bosan bosan bosan....sudah bosan aku dengan semua cerita itu.
(Cianjur, 2017)

[PUISI]



DUA PRIA DI LORONG TELKOM

Tak jelas maksudnya apa
Tak jelas tujuan nya apa
Hanya sekedar bertemu dan berkelakar
Mencari secercah pelajaran dari sebuah pertemuan

Namun sungguh gila….tak ada yang berguna
Obrolan sepanjang waktu tak melulu serius
Hanya sekedar guyonan dan akal bulus
Begitulah 2 pria alumni kampus

Mengikis habis pemikiran kritis
Cuma bertanya lalu menanggapi
Di lorong ini, kami hanyabergurau
Berselancar di internet sambil mengiggau

(Oktober, 2016)

[PUISI]



BILANG

Bilang padanya kalau aku ada..
Bilang aku ada padanya..
Bilang..bilang..bilang..
Bilang saja kalau semua itu bohong..

(April, 2016)

[PUISI]


JATUH

Terjatuh hanya masalah waktu.
Tak ada manusia yang kokoh berdiri.

(April, 2016)

[PUISI]



SI HITAM TERLUPA OLEH INDUKNYA

Suara ringkih lirih dari si hitam menusuk tajam
Dia terdiam sendiri di pojokkan pintu
Dengan tubuh lemah dan rapuh
Mulanya si hitam punya 3 saudara
Namun sayang tak lama mereka bersama

Induknya kepalang gila
Anaknya tersisa satu namun tak terurus
Yang tersisa hanya tulang terbungkus kulit
Melihat itu hatiku sakit terlilit
"Dasar induk gila!!" kataku...

Entah mengapa si hitam terus berjuang
Seolah dia tak ingin mati cepat
Dia tetap cintai induknya
Meski induknya tak mau lagi bercengkrama
Sungguh Malang nian nasibmu

Si hitam terlupa oleh induknya.
Tetaplah hidup sampai tiba saatnya.

(September, 2016)

[PUISI]



LENGKUNG

Hidup itu seperti sebuah lengkungan.
Ya! Lengkungan... dari atas kita bisa meluncur deras ke bawah,
lalu? Setelah itu kita pun akan meluncur kembali ke atas,
bahkan melewati batas awal kita meluncur.

(April, 2016)

[PUISI]



SEHELA NAFAS

Pandanganku tak pernah lepas darinya
Entah berapa kali tanganku menempel di dada
Ada peluh yang menetes tiap mengenangnya
Pikiranku terlalu diperas oleh wujud nyata penuh pesona

Seru! Seru! Aku berseru atas namanya
Pagi itu aku melihatnya dengan pipi merona
Imajiku menari liar dalam buaian kefanaan
Ku mengira dia membalas semua ekspektasiku

Anomali.. sungguh tak seperti biasa
Aku tahu sekelebat jawabannya
Tapi aku menolak kenyataan
Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya

Bukan karenanya,
tapi perilakunya.

(Cianjur, 2016)

Iklan