Telaah kritis pemikiran Herman Soewardi mengenai
Implikasi Tauhid pada “life”
dalam buku Roda
Berputar Dunia Bergulir
Oleh : Febri Fajar Pratama
=======================================================================
Hegemoni Barat
Buku roda berputar dunia bergulir
ini membuka cakrawala pengetahuan saya mengenai bagaimana sudut pandang unsur
religiusitas dalam kehidupan berpikir serta bertindak. Kontemplasi dari hasil
pemikiran mendalam mengenai bagaimana peran serta agama dan nilai pada campur
tangan kehidupan serta pola pikir manusia dikupas secara mendalam dan tegas.
Tidak terkesan menggurui atau bahkan memaksakan gagasannya. Mensintesakan ilmu
yang dihubungkan dengan Agama (Islam), menurut saya tidak terlalu ambisius
ataupun bersifat subjektif. Sebagai seorang muslim, tentunya saya percaya bahwa
ilmu yang ada entah berasal dari barat ataupun timur, bermula dari keyakinan
bahwa semua hal yang ada di dunia itu, tak berbentuk matter saja, namun juga metafisis. Ada latar belakang dimana sebagian
besar manusia percaya bahwa semua kejadian yang ada di alam dunia ini tidak
terbentuk dengan sendirinya. Artinya ada kekuatan lain diluar nalar serta akal
manusia untuk menjelaskan setiap fenomena yang ada. Meskipun ada sebagian orang
lagi yang berawal dari pemikiran para filsuf seperti Plato dan Aristoteles
seperti memisahkan atau membersihkan paradigma dari magik dan agama sehingga
menjadi rasional. Dari sinilah, muncul pendapat bahwa sebenarnya Ilmu itu hanya
berbicara masalah rasionalitas yang empirik dan bebas nilai (value free), tidak dapat dicampur adukan
dengan nilai-nilai religiusitas. Hal tersebut tentunya membuat saya yakin bahwa
selama ini, hegemoni barat sangat kuat. Seperti dijelaskan oleh Herman Soewardi
mengenai bagaimana barat memandang perjalanan sejarah dunia dilandaskan pada
paradigma mereka. Mereka memposisikan diri sebagai kaum yang pertama berhasil
untuk bangkit dan mendapatkan “Human
Motivation” sebagai pelecut kebangkitan atas apa yang mereka perjuangkan
demi dominasi terhadap semua hal, salah satunya dalam buku Herman Soewardi diistilahkan
sebagai mabuk kemenangan yang menimbulkan “cognitive
syndrome” bahwa mereka yang merasa paling jago dan hebat. Sejarah masa lalu
yang berasal dari peradaban non-barat mulai diabaikan. Sekali lagi, “Human Motivation” menjadi inti utama
bagaimana kaum barat dengan segala klaim nya memukul telak umat Islam dengan
secara perlahan merubah nalar dengan tujuan memberantas transcendental-isme
bahwa hal-hal yang sudah ditetapkan dulu bersifat “divine” (illahiah) yang tak dapat dijangkau dengan akal sehat.
Sehingga, pemikir-pemikir muslim dan ilmu pengetahuan dari timur terkesan
diberangus habis oleh faham yang barat-sentris.
Kepemimpinan Islam dan masuknya periode
7 abad benar dan 7 abad salah yang menimbulkan kelemah karsaan.
Islam sebagai kajian utama dalam mengkomparasikan
bagaimana sistem yang dianggap baik sebagai contoh dari pengamalan nilai-nilai
islam kedalam kehidupan diuraikan dengan begitu tajam. Berawal dari bagaimana
masa kepemimpinan Islam pada jaman pra-Rasulullah hingga masa setelah
Rasulullah wafat. Kisah sejarah tersebut, dianggap sebagai empirisasi dari
wahyu-wahyu yang terkumpul dalam Al-Quran yang bersifat transcendental. Dalam
pikiran Herman Soewardi, saya menangkap optimisme pada apa yang umat Islam
yakini sebagai tuntunan dan keyakinan “believe”.
Al-Quran membuat terang dan membuat jelas bagaimana umat muslim seharusnya bertindak.
Perintah yang ada dalam Al-Quran adalah jelas. Apa yang dilarang dan apa yang
diperbolehkan. Segala aspek kehidupan manusia sudah diatur di dalamnya dengan
lengkap dan kaffah. Nabi Muhammad sebagai role model dari sikap dan prilaku
yang harus dicontoh serta ditiru. Herman Soewardi memberikan perbandingan
bagaimana barat dan Islam, dilihat dari kesamaannya yaitu kekuatan, ketabahan,
ketekunan dan kejujuran. Sedangkan perbedaannya ialah bahwa Islam dilecut oleh
ibadah kepada Allah, sedangkan barat dilecut oleh “self-interest”. Inilah yang membuat bagaimana dikatakan oleh Herman
Soewardi adanya 7 abad salah dan 7 abad benar. Dijelaskan bahwa periode 7 abad
benar ini terjadi dalam rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-13 yang dipimpin
pada masa kekhalifahan (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali). Pada rentang waktu
tersebut, Islam mengalami kejayaan, dimana semua umat muslim masih berpegang
teguh pada Al-Quran sebagai pedoman hidup. Namun ternyata, ditengah-tengah
rentang abad tersebut, yaitu abad ke-9 umat Islam “tergelincir” dalam cobaan
dimana lahir pertentangan antara kaum muslim sendiri, terlebih pasca
kepemimpinan Usman berakhir. Sehingga umat muslim pada saat itu sudah tidak
lagi memegang teguh kekuatan dan persaudaraan. Kemudian pada akhirnya, umat Islam
mengalami apa yang dinamkan dalam buku Herman Soewardi sebagai kelemah karsaan
atau hilangnya “Human Motivation”.
Pada masa ini, kemajuan umat Islam dalam bidang ekonomi, taktik militer,
ekonomi, pertanian, astronomi, kemanusiaan dan nalar bebas masuk ke barat.
Barat memegang kendali kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan modernisasi
dengan memanfaatkan kemunduran Islam pada masa itu. Muslim harus mengakui
“keperkasaan” kaum barat, bahkan sampai dengan saat ini. Sangat dirasakan
betapa bagaimana kelemah karsaan ini tak hanya berhenti pada saat itu. Namun
menjadi mengakar dan menjadi sebuah kebiasaan diantara kaum muslim yang
menjalar ke dunia timur, bahkan sampai ke Indonesia. Inilah yang sebenarnya
bisa menjadi bahan refleksi, sekaligus bagaimana kita memandang apa yang
menjadi kelemahan kita dibandingkan dengan kaum barat. Saya tidak membenci
pengaruh barat dalam bidang-bidang strategis seperti pengetahuan, ekonomi dsb.
Namun bagaimana saya sebagai umat Islam merasa “tertampar” ketika membaca tentang
keterpurukan umat Islam yang saya rasa kehilangan pijakan dan kehilangan
kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan. Dampaknya apa? Dampaknya
indoktrinasi mudah masuk. Sikap kelemah karsaan, budaya santai, atau “softculture” yang sempat dibahas dalam disertasi
Prof. Dr. Dasim Budimansyah tahun 2001 menjelaskan bagaimana fenomena ini
benar-benar tercermin dalam keadaan kehidupan masyarakat kita. Maka dari itu,
sikap optimisme harus benar-benar dibangkitkan. Memulai kembali bagaimana kekuatan dan persaudaraan yang di
empirisasikan oleh Rasulullah sebagai acuan dapat dijadikan landasan masyarakat
Islam saat ini.
No comments:
Post a Comment