Saturday, 3 June 2017

OPTIMISME BERPIKIR DAN BERTINDAK SESUAI “TUNTUNAN”

Telaah kritis pemikiran Herman Soewardi mengenai Implikasi Tauhid pada “life
 dalam buku Roda Berputar Dunia Bergulir
Oleh : Febri Fajar Pratama
=======================================================================
Hegemoni Barat
            Buku roda berputar dunia bergulir ini membuka cakrawala pengetahuan saya mengenai bagaimana sudut pandang unsur religiusitas dalam kehidupan berpikir serta bertindak. Kontemplasi dari hasil pemikiran mendalam mengenai bagaimana peran serta agama dan nilai pada campur tangan kehidupan serta pola pikir manusia dikupas secara mendalam dan tegas. Tidak terkesan menggurui atau bahkan memaksakan gagasannya. Mensintesakan ilmu yang dihubungkan dengan Agama (Islam), menurut saya tidak terlalu ambisius ataupun bersifat subjektif. Sebagai seorang muslim, tentunya saya percaya bahwa ilmu yang ada entah berasal dari barat ataupun timur, bermula dari keyakinan bahwa semua hal yang ada di dunia itu, tak berbentuk matter saja, namun juga metafisis. Ada latar belakang dimana sebagian besar manusia percaya bahwa semua kejadian yang ada di alam dunia ini tidak terbentuk dengan sendirinya. Artinya ada kekuatan lain diluar nalar serta akal manusia untuk menjelaskan setiap fenomena yang ada. Meskipun ada sebagian orang lagi yang berawal dari pemikiran para filsuf seperti Plato dan Aristoteles seperti memisahkan atau membersihkan paradigma dari magik dan agama sehingga menjadi rasional. Dari sinilah, muncul pendapat bahwa sebenarnya Ilmu itu hanya berbicara masalah rasionalitas yang empirik dan bebas nilai (value free), tidak dapat dicampur adukan dengan nilai-nilai religiusitas. Hal tersebut tentunya membuat saya yakin bahwa selama ini, hegemoni barat sangat kuat. Seperti dijelaskan oleh Herman Soewardi mengenai bagaimana barat memandang perjalanan sejarah dunia dilandaskan pada paradigma mereka. Mereka memposisikan diri sebagai kaum yang pertama berhasil untuk bangkit dan mendapatkan “Human Motivation” sebagai pelecut kebangkitan atas apa yang mereka perjuangkan demi dominasi terhadap semua hal, salah satunya dalam buku Herman Soewardi diistilahkan sebagai mabuk kemenangan yang menimbulkan “cognitive syndrome” bahwa mereka yang merasa paling jago dan hebat. Sejarah masa lalu yang berasal dari peradaban non-barat mulai diabaikan. Sekali lagi, “Human Motivation” menjadi inti utama bagaimana kaum barat dengan segala klaim nya memukul telak umat Islam dengan secara perlahan merubah nalar dengan tujuan memberantas transcendental-isme bahwa hal-hal yang sudah ditetapkan dulu bersifat “divine” (illahiah) yang tak dapat dijangkau dengan akal sehat. Sehingga, pemikir-pemikir muslim dan ilmu pengetahuan dari timur terkesan diberangus habis oleh faham yang barat-sentris. 

Kepemimpinan Islam dan masuknya periode 7 abad benar dan 7 abad salah yang menimbulkan kelemah karsaan.
            Islam sebagai kajian utama dalam mengkomparasikan bagaimana sistem yang dianggap baik sebagai contoh dari pengamalan nilai-nilai islam kedalam kehidupan diuraikan dengan begitu tajam. Berawal dari bagaimana masa kepemimpinan Islam pada jaman pra-Rasulullah hingga masa setelah Rasulullah wafat. Kisah sejarah tersebut, dianggap sebagai empirisasi dari wahyu-wahyu yang terkumpul dalam Al-Quran yang bersifat transcendental. Dalam pikiran Herman Soewardi, saya menangkap optimisme pada apa yang umat Islam yakini sebagai tuntunan dan keyakinan “believe”. Al-Quran membuat terang dan membuat jelas bagaimana umat muslim seharusnya bertindak. Perintah yang ada dalam Al-Quran adalah jelas. Apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Segala aspek kehidupan manusia sudah diatur di dalamnya dengan lengkap dan kaffah. Nabi Muhammad sebagai role model dari sikap dan prilaku yang harus dicontoh serta ditiru. Herman Soewardi memberikan perbandingan bagaimana barat dan Islam, dilihat dari kesamaannya yaitu kekuatan, ketabahan, ketekunan dan kejujuran. Sedangkan perbedaannya ialah bahwa Islam dilecut oleh ibadah kepada Allah, sedangkan barat dilecut oleh “self-interest”. Inilah yang membuat bagaimana dikatakan oleh Herman Soewardi adanya 7 abad salah dan 7 abad benar. Dijelaskan bahwa periode 7 abad benar ini terjadi dalam rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-13 yang dipimpin pada masa kekhalifahan (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali). Pada rentang waktu tersebut, Islam mengalami kejayaan, dimana semua umat muslim masih berpegang teguh pada Al-Quran sebagai pedoman hidup. Namun ternyata, ditengah-tengah rentang abad tersebut, yaitu abad ke-9 umat Islam “tergelincir” dalam cobaan dimana lahir pertentangan antara kaum muslim sendiri, terlebih pasca kepemimpinan Usman berakhir. Sehingga umat muslim pada saat itu sudah tidak lagi memegang teguh kekuatan dan persaudaraan. Kemudian pada akhirnya, umat Islam mengalami apa yang dinamkan dalam buku Herman Soewardi sebagai kelemah karsaan atau hilangnya “Human Motivation”. Pada masa ini, kemajuan umat Islam dalam bidang ekonomi, taktik militer, ekonomi, pertanian, astronomi, kemanusiaan dan nalar bebas masuk ke barat. Barat memegang kendali kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan modernisasi dengan memanfaatkan kemunduran Islam pada masa itu. Muslim harus mengakui “keperkasaan” kaum barat, bahkan sampai dengan saat ini. Sangat dirasakan betapa bagaimana kelemah karsaan ini tak hanya berhenti pada saat itu. Namun menjadi mengakar dan menjadi sebuah kebiasaan diantara kaum muslim yang menjalar ke dunia timur, bahkan sampai ke Indonesia. Inilah yang sebenarnya bisa menjadi bahan refleksi, sekaligus bagaimana kita memandang apa yang menjadi kelemahan kita dibandingkan dengan kaum barat. Saya tidak membenci pengaruh barat dalam bidang-bidang strategis seperti pengetahuan, ekonomi dsb. Namun bagaimana saya sebagai umat Islam merasa “tertampar” ketika membaca tentang keterpurukan umat Islam yang saya rasa kehilangan pijakan dan kehilangan kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan. Dampaknya apa? Dampaknya indoktrinasi mudah masuk. Sikap kelemah karsaan, budaya santai, atau “softculture” yang sempat dibahas dalam disertasi Prof. Dr. Dasim Budimansyah tahun 2001 menjelaskan bagaimana fenomena ini benar-benar tercermin dalam keadaan kehidupan masyarakat kita. Maka dari itu, sikap optimisme harus benar-benar dibangkitkan. Memulai kembali bagaimana kekuatan dan persaudaraan yang di empirisasikan oleh Rasulullah sebagai acuan dapat dijadikan landasan masyarakat Islam saat ini.

No comments:

Post a Comment

Iklan