Saturday, 3 June 2017

“BHINNEKA TUNGGAL IKA” SEBAGAI PEMERSATU BANGSA!

Oleh : Febri Fajar Pratama 
Indonesia, merupakan Negara yang baru berusia 71 tahun secara defacto dan dejure. Walaupun sejarah bangsa ini lebih dari ribuan tahun sudah tercipta, dari mulai abad kerajaan hingga kolonialisme. Munculnya Nusantara, sang Ibu Pertiwi saat ini tak lepas dari sejarah-sejarah tersebut yang akhirnya menciptakan sebuah bangsa besar, dengan beragam etnik, suku, bahasa, budaya dan agama. Letak geografi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa serta dikelilingi sejumlah gunung berapi aktif menyebabkan Negeri ini hanya memiliki 2 musim dan beriklim tropis, yang membuat Indonesia kaya akan tumbuhan hijau, palawija, rempah-rempah dan subur tanah nya. Hal inilah yang pada akhirnya membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang banyak disinggahi oleh para pedagang ataupun para pelancong dari berbagai negara pada saat itu. Namun, kekayaan alam Indonesia yang melimpah serta rakyat nya yang sejahtera nampak menggiurkan untuk segelintir bangsa yang haus kekayaan melimpah dan SDA. Maka dari itu beberapa negara dari eropa seperti Belanda, Inggris, dan Portugis pernah menyambangi Negeri nan kaya ini dengan maksud untuk “berbaik” hati menjelajah negeri dengan memberikan tawaran kongsi dagang serta keuntungan pertukaran budaya dan pengetahuan. Walau pada akhirnya imperialism yang terjadi. Belanda menjajah selama 350 tahun. Bahkan setelah itu, jepang muncul dan mengaku sebagai saudara tua Indonesia yang ternyata tak lebih baik dari Belanda. 3,5 tahun cukup untuk membuat rakyat Indonesia tersiksa habis-habisan oleh sistem kerja paksa.
Mengenang masa-masa sulit itu, maka tak berlebihan jika bangsa ini adalah bangsa yang besar karena hasil jerih payah perjuangan dan pengorbanan para generasi sebelumnya yang rela mati demi terciptanya keadilan serta kemakmuran Negeri, walaupun pada nyata nya hal tersebut baru permulaan dari tantangan-tantangan masa depan yang lebih kompleks dan berat. Persatuan bangsa, keberagaman, serta tujuan bangsa Indonesia tak lepas dari yang namanya dasar negara, atau ideologi dasar yang dibuat oleh para founding fathers kita. Kita biasa menyebut falsafah bangsa kita dengan nama Pancasila. Pancasila ini tak hanya sekedar nama, ataupun inti dari sebuah pemikiran kebangsaan serta kenegarawanan Bung Karno, namun Pancasila sendiri tercipta dari filsafiah secara radikal dengan berdasar pada nilai-nilai yang terkandung dalam nilai religiusitas, keberagaman, kebermufakatan, keberadilan serta nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dalam buku mengalami Pancasila, Armada Riyanto mencoba untuk menjabarkan sedikit sejarah bagaimana bung Karno pada saat itu yang masih berusia 43 tahun mencetuskan pemikiran orisinilnya tentang Pancasila. Bung Karno muda dijelaskan menulis secara ekstensif mengenai konsep “Keindonesiaan” yang pada akhirnya merupakan konsep dari ideologi Pancasila pada tahun 1926 di Soloeh Indonesia Muda. Saat itu Bung Karno masih berusia 25 tahun. Humanisme bung karno merupakan humanism yang masih sangat murni, karena pada usia yang masih muda, pemikiran mengenai dasar dan konsep Pancasila belum dijamah oleh kepentingan politik serta kekuasaan.
            Pancasila lahir sebagai hasil pemikiran sintesa dari beberapa gagasan dan penolakan terhadap gagasan yang tidak sesuai. Banyak sekali faham pada saat yang sama menggempur dan menguji identitas nasional bangsa, tak terkecuali beberapa faham seperti komunisme yang sempat membuat dampak yang cukup besar pada stabilitas negara dan juga konsistensi terhadap ideologi bangsa. Kemudian dampak dari faham kapitalisme yang lebih menguntungkan kaum berada, serta liberalism yang ternyata saat ini tak terasa sudah mengancam ke Indonesiaan kita. Tak hanya sebatas bagaimana pemahaman mengenai ideologi lain yang mengancam, namun saat ini kita lebih dihadapkan pada bagaimana cara memelihara keberagaman dan persatuan bangsa melalui Pancasila. Pancasila tak hanya berisikan 5 sila yang menjadi pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun lebih dalam, Pancasila diibaratkan sebagai simbol pemersatu perbedaan yang ada dengan semboyan nya yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu itu. Bukan tanpa maksud semboyan tersebut lahir dan tercipta sebagai bahagian dari Pancasila. Namun semboyan itu hendaknya kita maknai sebagai pelecut atas keberagaman bangsa yang harus disatukan dalam ideologi dan kebhinnekaan. Sangat riskan sekali jika kita terlalu melalaikan keberbedaan dan keberagaman yang ada. Karena sedikit gesekan saja, tidak ayal dapat memicu api. Maka dari itu, sangat penting adanya jika filosofis dari semboyan bangsa ini tak hanya sekedar semboyan, namun juga bagaimana cara kita mengimplementasikan hal tersebut.
            Apalagi jika kita lihat fenomena saat ini, pada abad ke-21 dimana modernisasi dan globalisasi menjadi sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Maka bagaimana cara kita dapat menjaga pluralitas serta multikulturalisme yang ada menjadi kekuatan dan nilai tambah dari bangsa kita. Terlebih jika berbicara mengenai perbedaan baik dari sisi budaya serta agama. Saat ini, isu SARA nampak menjadi hal yang sangat disorot setelah adanya kasus mengenai pemimpin daerah yang berbeda agama dari kelompok mayoritas salah berucap, sehingga memicu kelompok umat tertentu tersebut untuk berunjukrasa. Hingga akhirnya muncul beberapa demo besar-besaran menolak agar adanya tindak lanjut lebih serius dari pihak kepolisian untuk mengusut kasus dugaan penistaan agama. Hal tersebut sempat menjadi hal yang menyentuh bagaimana keberbedaan dan rasa toleransi itu diuji. Indonesia tidak dibangun oleh segelintir orang dengan etnik, budaya dan agama tertentu. Tidak ada hegemoni kelompok yang membuat Indonesia ini ada. Namun Indonesia lahir dari hasil perjuangan rakyat Indonesia itu sendiri, yang terdiri dari bermacam, suku, etnik, agama dsb. Maka alangkah bijaknya jika memang hal-hal semacam itu lebih dapat di musyawarahkan sesuai dengan kepribadian bangsa kita yang santun dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Tak perlu adanya intimidasi atau intoleransi dalam sendi sendi kehidupan bermasyarakat. Bahkan Almarhum K.H. Hasyim Muzadi pernah mengucapkan bahwa “Indonesia ini lebih mengetengahkan nilai-nilai agama daripada simbol-simbol agama, sehingga Indonesia ini sudah islam dengan sendirinya” dapat kita ambil hikmah dari ucapan beliau bahwa, negara kita bukanlah negara bersendikan syariat Islam namun pada dasarnya apa yang sudah dilakukan oleh bangsa indonesia itu sudah merupakan Islam itu sendiri. Sehingga jika kita dapat mengimani dan juga menerapkan secara betul Pancasila dengan semboyan nya itu, tidak perlu kita saling hujat dan saling hina, ataupun saling menyalahkan satu dan yang lain. Kita bangsa yang besar. Kita merdeka dengan tangan kita sendiri, tak elok jika kita harus berperang melawan bangsa sendiri. Bung Karno pernah memperingatkan kita akan hal ini, “perjuanganku lebih mudah, karena hanya mengusir penjajah, sedangkan perjuangan kalian nanti lebih berat, karena harus mempertahankan kemerdekaan”. Oleh karena nya, marilah kita benar-benar bisa menjaga dan mengisi kemerdekaan ini dengan bersendikan Pancasila dan bernafaskan Kebhinekaan. Jangan ada perpecahan karena perbedaan, apalagi saling sikut antar sesama. Kita adalah satu, yaitu bangsa Indonesia. Tahun 1928 para pemuda pernah berikrar atas dasar perjuangan bangsa yang tidak boleh kita lupakan. Kita tinggalkan egoisme kita, dan kita bangkitkan semangat persatuan kita sebagai bangsa yang besar.

No comments:

Post a Comment

Iklan