Oleh
: Febri Fajar Pratama
Indonesia, merupakan
Negara yang baru berusia 71 tahun secara defacto dan dejure. Walaupun sejarah
bangsa ini lebih dari ribuan tahun sudah tercipta, dari mulai abad kerajaan
hingga kolonialisme. Munculnya Nusantara, sang Ibu Pertiwi saat ini tak lepas
dari sejarah-sejarah tersebut yang akhirnya menciptakan sebuah bangsa besar,
dengan beragam etnik, suku, bahasa, budaya dan agama. Letak geografi Indonesia
yang berada di garis khatulistiwa serta dikelilingi sejumlah gunung berapi
aktif menyebabkan Negeri ini hanya memiliki 2 musim dan beriklim tropis, yang
membuat Indonesia kaya akan tumbuhan hijau, palawija, rempah-rempah dan subur
tanah nya. Hal inilah yang pada akhirnya membuat Indonesia menjadi salah satu
negara yang banyak disinggahi oleh para pedagang ataupun para pelancong dari
berbagai negara pada saat itu. Namun, kekayaan alam Indonesia yang melimpah
serta rakyat nya yang sejahtera nampak menggiurkan untuk segelintir bangsa yang
haus kekayaan melimpah dan SDA. Maka dari itu beberapa negara dari eropa
seperti Belanda, Inggris, dan Portugis pernah menyambangi Negeri nan kaya ini
dengan maksud untuk “berbaik” hati menjelajah negeri dengan memberikan tawaran
kongsi dagang serta keuntungan pertukaran budaya dan pengetahuan. Walau pada
akhirnya imperialism yang terjadi. Belanda menjajah selama 350 tahun. Bahkan
setelah itu, jepang muncul dan mengaku sebagai saudara tua Indonesia yang
ternyata tak lebih baik dari Belanda. 3,5 tahun cukup untuk membuat rakyat
Indonesia tersiksa habis-habisan oleh sistem kerja paksa.
Mengenang masa-masa
sulit itu, maka tak berlebihan jika bangsa ini adalah bangsa yang besar karena
hasil jerih payah perjuangan dan pengorbanan para generasi sebelumnya yang rela
mati demi terciptanya keadilan serta kemakmuran Negeri, walaupun pada nyata nya
hal tersebut baru permulaan dari tantangan-tantangan masa depan yang lebih
kompleks dan berat. Persatuan bangsa, keberagaman, serta tujuan bangsa
Indonesia tak lepas dari yang namanya dasar negara, atau ideologi dasar yang
dibuat oleh para founding fathers
kita. Kita biasa menyebut falsafah bangsa kita dengan nama Pancasila. Pancasila
ini tak hanya sekedar nama, ataupun inti dari sebuah pemikiran kebangsaan serta
kenegarawanan Bung Karno, namun Pancasila sendiri tercipta dari filsafiah
secara radikal dengan berdasar pada nilai-nilai yang terkandung dalam nilai
religiusitas, keberagaman, kebermufakatan, keberadilan serta nilai-nilai luhur
budaya bangsa. Dalam buku mengalami Pancasila, Armada Riyanto mencoba untuk
menjabarkan sedikit sejarah bagaimana bung Karno pada saat itu yang masih
berusia 43 tahun mencetuskan pemikiran orisinilnya tentang Pancasila. Bung
Karno muda dijelaskan menulis secara ekstensif mengenai konsep “Keindonesiaan”
yang pada akhirnya merupakan konsep dari ideologi Pancasila pada tahun 1926 di Soloeh Indonesia Muda. Saat itu Bung
Karno masih berusia 25 tahun. Humanisme bung karno merupakan humanism yang
masih sangat murni, karena pada usia yang masih muda, pemikiran mengenai dasar
dan konsep Pancasila belum dijamah oleh kepentingan politik serta kekuasaan.
Pancasila
lahir sebagai hasil pemikiran sintesa dari beberapa gagasan dan penolakan
terhadap gagasan yang tidak sesuai. Banyak sekali faham pada saat yang sama
menggempur dan menguji identitas nasional bangsa, tak terkecuali beberapa faham
seperti komunisme yang sempat membuat dampak yang cukup besar pada stabilitas
negara dan juga konsistensi terhadap ideologi bangsa. Kemudian dampak dari
faham kapitalisme yang lebih menguntungkan kaum berada, serta liberalism yang
ternyata saat ini tak terasa sudah mengancam ke Indonesiaan kita. Tak hanya
sebatas bagaimana pemahaman mengenai ideologi lain yang mengancam, namun saat
ini kita lebih dihadapkan pada bagaimana cara memelihara keberagaman dan
persatuan bangsa melalui Pancasila. Pancasila tak hanya berisikan 5 sila yang
menjadi pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun lebih dalam,
Pancasila diibaratkan sebagai simbol pemersatu perbedaan yang ada dengan
semboyan nya yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tetapi
tetap satu itu. Bukan tanpa maksud semboyan tersebut lahir dan tercipta sebagai
bahagian dari Pancasila. Namun semboyan itu hendaknya kita maknai sebagai
pelecut atas keberagaman bangsa yang harus disatukan dalam ideologi dan
kebhinnekaan. Sangat riskan sekali jika kita terlalu melalaikan keberbedaan dan
keberagaman yang ada. Karena sedikit gesekan saja, tidak ayal dapat memicu api.
Maka dari itu, sangat penting adanya jika filosofis dari semboyan bangsa ini
tak hanya sekedar semboyan, namun juga bagaimana cara kita mengimplementasikan
hal tersebut.
Apalagi
jika kita lihat fenomena saat ini, pada abad ke-21 dimana modernisasi dan globalisasi
menjadi sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Maka bagaimana cara kita dapat
menjaga pluralitas serta multikulturalisme yang ada menjadi kekuatan dan nilai
tambah dari bangsa kita. Terlebih jika berbicara mengenai perbedaan baik dari
sisi budaya serta agama. Saat ini, isu SARA nampak menjadi hal yang sangat
disorot setelah adanya kasus mengenai pemimpin daerah yang berbeda agama dari
kelompok mayoritas salah berucap, sehingga memicu kelompok umat tertentu
tersebut untuk berunjukrasa. Hingga akhirnya muncul beberapa demo besar-besaran
menolak agar adanya tindak lanjut lebih serius dari pihak kepolisian untuk
mengusut kasus dugaan penistaan agama. Hal tersebut sempat menjadi hal yang
menyentuh bagaimana keberbedaan dan rasa toleransi itu diuji. Indonesia tidak dibangun
oleh segelintir orang dengan etnik, budaya dan agama tertentu. Tidak ada
hegemoni kelompok yang membuat Indonesia ini ada. Namun Indonesia lahir dari
hasil perjuangan rakyat Indonesia itu sendiri, yang terdiri dari bermacam,
suku, etnik, agama dsb. Maka alangkah bijaknya jika memang hal-hal semacam itu
lebih dapat di musyawarahkan sesuai dengan kepribadian bangsa kita yang santun
dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Tak perlu adanya intimidasi atau
intoleransi dalam sendi sendi kehidupan bermasyarakat. Bahkan Almarhum K.H.
Hasyim Muzadi pernah mengucapkan bahwa “Indonesia
ini lebih mengetengahkan nilai-nilai agama daripada simbol-simbol agama,
sehingga Indonesia ini sudah islam dengan sendirinya” dapat kita ambil
hikmah dari ucapan beliau bahwa, negara kita bukanlah negara bersendikan
syariat Islam namun pada dasarnya apa yang sudah dilakukan oleh bangsa indonesia
itu sudah merupakan Islam itu sendiri. Sehingga jika kita dapat mengimani dan
juga menerapkan secara betul Pancasila dengan semboyan nya itu, tidak perlu
kita saling hujat dan saling hina, ataupun saling menyalahkan satu dan yang
lain. Kita bangsa yang besar. Kita merdeka dengan tangan kita sendiri, tak elok
jika kita harus berperang melawan bangsa sendiri. Bung Karno pernah
memperingatkan kita akan hal ini, “perjuanganku
lebih mudah, karena hanya mengusir penjajah, sedangkan perjuangan kalian nanti
lebih berat, karena harus mempertahankan kemerdekaan”. Oleh karena nya,
marilah kita benar-benar bisa menjaga dan mengisi kemerdekaan ini dengan
bersendikan Pancasila dan bernafaskan Kebhinekaan. Jangan ada perpecahan karena
perbedaan, apalagi saling sikut antar sesama. Kita adalah satu, yaitu bangsa
Indonesia. Tahun 1928 para pemuda pernah berikrar atas dasar perjuangan bangsa
yang tidak boleh kita lupakan. Kita tinggalkan egoisme kita, dan kita bangkitkan
semangat persatuan kita sebagai bangsa yang besar.