Sumber gambar: Photos8.com |
Belakangan ini saya sangat geram dengan tingkah para warganet yang sering sekali berkomentar dengan menggunakan kata-kata kasar. Banyak dari mereka yang tidak peduli dengan apa yang telah mereka tulis. Mereka tidak memikirkan dampak psikologis yang mungkin terjadi kepada orang yang telah mereka caci habis-habisan di sosial media. Hal tersebut tentu dapat kita kategorikan sebagai perundungan verbal melalui media daring atau lebih kita kenal dengan istilah cyberbullying. Berdalih bahwa semua orang bebas berpendapat menjadi alasan yang saya rasa kurang etis jika hal tersebut digunakan hanya untuk mencaci orang lain dengan kata-kata yang kurang pantas. Adapula yang berdalih mengkritisi namun tidak faham makna dan etika dari kritik itu sendiri seperti apa?! Tak hanya para politisi yang biasanya kena “semprotan” maut para warganet, terkadang para artis, bahkan anak-anak sekalipun tak luput dari ulah oknum warganet bandel ini.
Masih ingatkah dengan fenomena Bowo Alpenlibe yang sempat viral beritanya karena banyak digilai para ABG muda belia berkat aksinya di aplikasi Tik Tok? Bagi sebagian warganet, hal tersebut dianggap sangat berlebihan sehingga banyak yang menghujat Bowo habis-habisan, baik di youtube maupun di media sosial lain. Bahkan hal tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang sangat keterlaluan menurut saya, karena berujung kepada kebencian yang menyerang pribadi Bowo serta orang-orang terdekatnya. Tak ayal Bowo yang masih duduk di bangku SMP itupun sempat terpukul dan berhenti Sekolah. Lihat dampaknya? Padahal hanya kata-kata, tapi bisa mempengaruhi mental seseorang sedemikian besarnya. Sebenarnya apasih yang kita takutkan dari sepenggal kata-kata atau kalimat? Apakah bisa membunuh kita? Mungkin secara logika, jawabannya tidak, tapi jika kita tinjau secara psikologi dan linguistik, tentu sebuah kata-kata memiliki makna bukan? Makna tersebut yang dapat diproses oleh indra, lalu kemudian diterjemahkan ke dalam pikiran dan pada akhirnya membentuk sebuah perasaan hingga berujung pada tindakan.
Kata-kata mungkin tidak dapat membunuh kita, tetapi bisa jadi salah satu hal yang dapat mempengaruhi kita secara mental. Misal, ada seorang siswa yang sangat sulit memahami konsep dasar operasi perkalian Matematika. Suatu hari dia diperintahkan oleh gurunya mengerjakan soal Matematika di depan kelas, lalu siswa yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan soal tersebut dengan benar. Kemudian guru yang memberikan soal itupun marah dan mengucapkan kalimat “Dasar Bodoh! Perkalian mudah seperti ini saja tidak bisa! Sampai kapanpun, kamu tidak akan berhasil!” Apakah yang akan terjadi dengan mental siswa tersebut? Jika beruntung, mungkin dia akan menganggap perkataan sang guru sebagai cambuk agar dia berusaha lebih keras belajar matematika. Namun jika tidak, mungkin saja anak tersebut bisa bunuh diri karena merasa dirinya bodoh, dan hidupnya tidak berguna karena tidak bisa mengerjakan soal yang mudah sekalipun. Jikapun tidak, kalimat atau kata-kata yang terlontar dari guru tersebut akan selalu membekas dalam diri si anak, mungkin hingga dewasa nanti.
Saya jadi ingat celotehan Agung Hapsah dalam salah satu videonya yang membahas tentang youtubers anak-anak. Dalam video tersebut dibahas bahwasannya banyak youtubers anak-anak yang mendapatkan kritikan keras dari para penonton youtube, karena kontennya dianggap tidak berkualitas atau kurang menarik dan terkesan memaksakan. Banyak dari mereka yang memberikan komentar negatif, bahkan ada yang memberikan komentar jorok dan tidak pantas diucapkan. Salah satu perkataan dari warganet tersebut yang diberi underlined oleh Agung Hapsah yakni “Berhentilah menjadi youtuber!” Mungkin terdengar biasa saja, tapi apakah anak-anak yang mentalnya masih belum stabil tersebut dapat menerimanya? Ketika mereka menyalurkan renjana mereka sebagai seorang youtuber, bahkan ada sebagian dari mereka yang menjadikan youtuber sebagai cita-cita mereka, kemudian secara tidak langsung dipaksa untuk berhenti begitu saja hanya karena mereka dianggap kurang pantas untuk menjadi youtuber dapat menerima begitu saja dengan lapang dada? Padahal hal tersebut yang selama ini mereka cita-citakan. Hal inilah yang dinilai oleh Agung Hapsah sebagai hal yang sangat berbeda ketika dia masih tinggal di Australia. Di Australia, lingkungannya sangat mendukung dia untuk berkarya. Bahkan ketika dia membuat video jelek sekalipun, para sahabat dan lingkungannya mengatakan bahwa “...teruslah berkarya, kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau jika kamu bekerja keras.” Lihat? Perbedaannya sangat jauh, kata-katanya sangat memotivasi dan membuat Agung Hapsah akhirnya menjadi youtuber terkenal dengan konten-konten yang menarik berkat kerja keras, usaha dan dukungan dari para sahabat, orang tua serta lingkungannya. Hal inilah yang mungkin sangat sulit kita dapatkan di Indonesia.
Banyak orang merasa pintar, bukan pintar merasa. Banyak yang tidak menyadari bahwasannya kata-kata positif itu diperlukan untuk membentuk mental seseorang agar terus merasa positif, memunculkan rasa percaya diri dan optimistik. Bukankah menyebarkan hal positif di sekitar kita akan merubah lingkungan kita menjadi positif juga? Masih ingat pepatah lama yang mengatakan bahwa “Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka kita juga akan terkena wanginya”? Atau “Ucapan itu adalah doa!" dan “Mulutmu adalah harimaumu!"? Bukankah seorang penyair dapat membawa pesan cinta, perdamaian atau bahkan kebencian hanya dengan selembar kertas bertuliskan bait-bait puisi yang ia tulis?
Banyak orang merasa pintar, bukan pintar merasa. Banyak yang tidak menyadari bahwasannya kata-kata positif itu diperlukan untuk membentuk mental seseorang agar terus merasa positif, memunculkan rasa percaya diri dan optimistik. Bukankah menyebarkan hal positif di sekitar kita akan merubah lingkungan kita menjadi positif juga? Masih ingat pepatah lama yang mengatakan bahwa “Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka kita juga akan terkena wanginya”? Atau “Ucapan itu adalah doa!" dan “Mulutmu adalah harimaumu!"? Bukankah seorang penyair dapat membawa pesan cinta, perdamaian atau bahkan kebencian hanya dengan selembar kertas bertuliskan bait-bait puisi yang ia tulis?
Robert E. Millward (2007) dalam artikel nya yang berjudul “Leaders Understand The Power Of Words” mengungkapkan bahwasannya kata-kata dan kalimat memiliki kekuatan untuk membangkitkan semangat, membebaskan pikiran, dan mewujudkan ide yang inovatif. Mohammed Qahtani pernah membahas hal ini dalam kompetisi toastmasters international dengan tema “The Power Of Words." Dia mengatakan, “...words, when said and articulated in the right way, can change someone's mind. You have the power to bring someone from the slumps of life and make a successful person out of them or destroy someone's happines using only your words. A simple choice of words can make a difference between someone accepting or denying your message.” Ketika kata-kata disampaikan dengan artikulasi dan cara yang tepat, maka dapat merubah pemikiran seseorang. Kamu memiliki kekuatan untuk membantu seseorang yang sedang terpuruk dalam hidupnya agar bisa bangkit dan keluar dari keterpurukan, atau justru dapat merusak kebahagiaan seseorang hanya dengan kata-kata. Cara sederhana dengan memilah kata-kata dapat membuat suatu perbedaan apakah seseorang akan menyetujui apa yang kita katakan maupun tidak mengindahkan pesan yang ingin disampaikan melalui kata-kata tersebut.
Betapa pentingnya memilih kata-kata atau kalimat yang tepat dalam komunikasi sosial. Seberapa seringkah guru memuji atau memberikan kata-kata motivasi kepada muridnya yang sedang kesulitan mencerna pelajaran? Seberapa seringkah para orang tua memberikan kalimat positif kepada anaknya untuk mengembangkan sikap optimis dalam diri si anak? Seberapa seringkah kita mengucapkan, “Wah, kamu hebat!”, “Tidak usah sedih, masih ada hari esok!”, “Jangan menyerah, seharusnya kamu bisa melakukan yang lebih daripada ini!”, “Wow, sebuah karya yang hebat, tapi alangkah lebih hebatnya jika kamu menambahkan sedikit ini......”, “Kamu luar biasa!”, “Jawaban yang bagus! Tapi ada sedikit yang kurang, biar saya tambahkan...” dan kalimat motivasi lainnya? Seharusnya kita belajar menahan diri untuk tidak berkata kasar, menilai sepihak atau mencaci orang lain yang dapat menjatuhkan mental orang tersebut. Sebarkan kata-kata semangat dan motivasi kepada semua orang agar hidup kita juga menjadi positif. Mari kita bangun budaya tersebut mulai dari sekarang! Stop perundungan secara verbal di media sosial dan stop perundungan verbal kepada anak-anak!
Betapa pentingnya memilih kata-kata atau kalimat yang tepat dalam komunikasi sosial. Seberapa seringkah guru memuji atau memberikan kata-kata motivasi kepada muridnya yang sedang kesulitan mencerna pelajaran? Seberapa seringkah para orang tua memberikan kalimat positif kepada anaknya untuk mengembangkan sikap optimis dalam diri si anak? Seberapa seringkah kita mengucapkan, “Wah, kamu hebat!”, “Tidak usah sedih, masih ada hari esok!”, “Jangan menyerah, seharusnya kamu bisa melakukan yang lebih daripada ini!”, “Wow, sebuah karya yang hebat, tapi alangkah lebih hebatnya jika kamu menambahkan sedikit ini......”, “Kamu luar biasa!”, “Jawaban yang bagus! Tapi ada sedikit yang kurang, biar saya tambahkan...” dan kalimat motivasi lainnya? Seharusnya kita belajar menahan diri untuk tidak berkata kasar, menilai sepihak atau mencaci orang lain yang dapat menjatuhkan mental orang tersebut. Sebarkan kata-kata semangat dan motivasi kepada semua orang agar hidup kita juga menjadi positif. Mari kita bangun budaya tersebut mulai dari sekarang! Stop perundungan secara verbal di media sosial dan stop perundungan verbal kepada anak-anak!