Assalamualaikum sahabat whoopys! apa kabar? mudah-mudahan selalu dalam keadaan baik-baik saja ya! aamiin! :)
Kali ini mimin mau posting berkenaan dengan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya. Namun, lagu Indonesia Raya yang mimin analisis ini bukan yang versi satu stanza saja, tapi khusus yang terdiri dari 3 stanza. Hasil analisis ini sebenarnya merupakan tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Pendidikan Karakter mimin. Jadi, dalam tugas tersebut mimin diharuskan untuk menganalisis nilai-nilai karakter yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya yang terdiri dari 3 stanza yang sebelumnya sudah diarahkan kepada 5 nilai karakter, yaitu : gotong royong, mandiri, nasionalisme, religius dan integritas, masing-masing stanza harus di analisis nilai karakternya termasuk kepada yang mana, lalu kemudian nilai-nilai tersebut harus di korelasikan/di integrasikan kedalam strategi pembelajaran di dalam kelas. Semoga postingan kali ini bermanfaat bagi teman-teman yang mungkin punya tugas yang sama, atau agak mirip-mirip kayak tugasnya mimin.. he.. silahkan dibaca saja, kalo mau di copy juga boleh, asal sertakan sumbernya. Catatan : postingan ini mimin sesuaikan dengan template blog, jadi mohon maaf jika agak kurang bagus tampilannya atau format tulisannya. Kemudian, untuk sumber dari analisis ini, ada catatan kaki, tapi tidak langsung terhubung dengan daftar pustaka/sumber bacaannya, karena agak males ngeditnya (kalo ada waktu, nanti di perbaiki).. he.. tapi hasil analisis ini bersumber dari beberapa buku, jurnal dan web yang mimin olah dengan pemikiran, pemahaman serta kata-kata sendiri, jadi mohon untuk tidak copy paste 100%, setidaknya hargailah karya orang lain, belajar buat berpikir sendiri apa adanya, bukan apa saja yang penting ada...
Analisis
Lagu Indonesia Raya
Cipt. W.R. Supratman
Stanza I
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
*
Indonesia Raya
Merdeka, Merdeka
Tanahku, Negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Nilai karakter yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya stanza I :
* Nasionalis
A. Analisis/Argumen
Pada stanza I lagu Indonesia Raya, saya maknai bahwa setiap liriknya hingga chorus terdapat nilai karakter “nasionalis”. Hal tersebut saya identifikasi dari beberapa kata seperti :
Tanah airku, tumpah darahku, kebangsaanku, Indonesia bersatu, hiduplah tanahku & hiduplah negriku, negriku yang kucinta, dan hiduplah Indonesia raya.
Beberapa kata tersebut mencerminkan bagaimana rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Disamping itu, terdapat pula cita-cita bangsa yang terus dikumandangkan, yakni : Merdeka! Semangat ini yang terus terpatri dalam jiwa para pendahulu yang menghendaki agar bangsa Indonesia terbebas dari segala bentuk penjajahan. Sehingga, untuk menjaga agar semangat itu tidak hilang, maka kata “merdeka” menjadi kata yang paling banyak termaktub dalam lagu Indonesia Raya. Selain itu, dalam stanza I lagu Indonesia Raya ini, semangat nasionalisme begitu kental dengan ditandai oleh beberapa kata yang sudah disebutkan diatas. Nasionalisme sendiri diartikan sebagai “rasa cinta yang besar dan mendalam kepada tanah air/tanah kelahiran.” Tentunya rasa nasionalisme ini selalu ada pada diri setiap individu sebagai warga negara yang hidup dan tinggal disuatu negara, hanya saja yang menjadi pembeda adalah seberapa besar rasa cinta itu? Bangsa Indonesia secara historis telah membuktikan diri sebagai bangsa yang memiliki nasionalisme tinggi. 350 tahun dijajah oleh Belanda ditambah dengan 3,5 tahun oleh Jepang. Bangsa kita pantang menyerah untuk terus berperang melawan imperialisme asing. Slogan “Merdeka atau mati!” menggema diberbagai sudut kota, dan terpampang ditembok-tembok jalanan. Masyarakat lintas etnis, budaya dan agama semua berkumpul menjadi satu demi terciptanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam teorinya, nasionalisme diartikan oleh beberpa ahli sebagai keyakinan politis yang mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas. Nasionalisme menjadi pusat kesetiaan tertinggi bagi mayoritas orang pada satu kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan.[1]
Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, yang berkenaan dengan perumusan Undang-Undang Dasar, Bung Karno pernah mengatakan pentingnya semangat nasionalisme yang tertuang dalam pidatonya :[2]
“Negara Indonesia harus dibangun dalam satu mata rantai yang kokoh dan kuat dalam lingkungan kemakmuran bersama kebangsaan yang dianjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri dengan hanya mencapai Indonesia merdeka, tetapi harus menuju pula pada kekeluargaan bangsa-bangsa menuju persatuan dunia. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.”
Makna yang terkandung dalam pidato tersebut yakni, pesan kepada generasi muda bangsa Indonesia untuk saling bekerjasama dan bahu membahu membangun bangsa untuk mempersiapkan diri menghadapi kemajuan dan perkembangan dunia internasional. Karena seiring dengan berkembangnya jaman, maka tuntutan kehidupan global yang meliputi segala jenis bidang harus kita maknai dengan arif dan bijaksana. Kelemahan bangsa dalam menghadapi liberalisasi dikhawatirkan menimbulkan ekses negatif bagi perkembangan bangsa. Salah satu yang dikhawatirkan adalah munculnya krisis ideologis yang akan menggerus jati diri sebuah bangsa yang Pancasilais. Beberapa indikator seperti liberalisasi di bidang ekonomi, maraknya aksi kekerasan fisik dan psikis, konflik sara, politik kotor, perebutan sumber daya ekonomi dan dekadensi moral tidak lepas dari pengaruh globalisasi tersebut. Jika hal-hal tersebut tidak direspon dengan baik oleh para elit politik kita, justru akan mengancam makna kemerdekaan pada tingkat individual di masyarakat. Oleh karena itu, pengukuhan terhadap nilai-nilai dasar nasionalisme yang telah dibentuk sejak kemerdekaan, yaitu kecintaan terhadap pluralisme bangsa, solidaritas dan persatuan, merupakan hal yang sangat esensial untuk dikembangkan sebagai upaya mengisi kemerdekaan.
B. Pendekatan, Strategi, Metode, Media dan Penilaian
Dalam pendidikan karakter yang di identifikasi oleh pemerintah, nilai karakter “nasionalis” termasuk kedalam 18 nilai karakter yang bersumber dari agama, budaya dan falsafah bangsa yang meliputi :
Religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
Dari ke 18 nilai tersebut, nasionalisme diwakili oleh nilai karakter “cinta tanah air” yang diartikan sebagai cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.[3]
Nilai-nilai tersebut tentunya dalam konteks lingkungan pendidikan, dalam hal ini adalah sekolah, merupakan nilai-nilai yang telah diintegrasikan pada mata pelajaran yang mengacu pada materi pendidikan (kurikulum) yang bertujuan agar peserta didik tak hanya pintar secara kognitif, namun juga berkarakter baik, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang landasan dasarnya ada pada pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
Untuk menanamkan karakter nasionalis atau rasa cinta tanah air dalam diri setiap individu, khususnya para peserta didik, saya rasa tepat jika Pendidikan Kewarganegaraan dapat menjadi mata pelajaran yang cocok untuk menekankan nilai karakter tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Suwarma[4], dalam bukunya Ideologi Pancasila yang sedikit mengulas mengenai dimensi pendidikan dalam ideologi pancasila, tentang bagaimana mengaktualisasikan ideologi Pancasila? Jawabannya adalah “…membangun pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan Pancasila.” Artinya, PKn mampu untuk menjadi mata pelajaran yang dapat menanamkan nilai karakter “nasionalis” sesuai dengan peran daripada PKn itu sendiri, yaitu untuk mendidik warga negara menjadi warga negara yang baik, yang secara umum dapat dibedakan antara orang baik (a good person) dan warga negara yang baik (good citizen), dimana warga negara yang baik memenuhi sejumlah kewajibannya seperti tanggung jawab untuk mematuhi hukum, membayar pajak, menghormati hak-hak orang lain, berjuang untuk kejayaan bangsa dan negara, serta secara umum memenuhi kewajiban-kewajiban sosialnya sebagai warga masyarakat.[5] Hal-hal tersebut merupakan implementasi dari rasa cinta terhadap tanah air, yakni dengan berusaha menjadi warga negara yang baik yang bertindak dan berprilaku sesuai dengan aturan, bertanggung jawab, tahu hak dan kewajiban, dan menghargai negara serta bangsanya sendiri.
Pendekatan yang mungkin dilakukan dalam menanamkan nilai nasionalisme ini yakni dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai yang dikemukakan oleh Douglas P. Superka.[6] Pendekatan ini menekankan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuannya adalah untuk menanamkan nilai tertentu yang diinginkan (dalam hal ini adalah nilai karakter nasionalis). Menurut pendekatan ini, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peran, dan lain-lain. Melalui metode atau strategi keteladanan, seluruh perangkat sekolah (kepala sekolah, guru, staf TU, perpustakaan dsb.) dapat menjadi tauladan dalam berprilaku sesuai nilai yang diinginkan. Strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi keteladan internal (internal modelling) dan keteladanan eksternal (eksternal modelling). Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang dilakukan oleh pendidik sendiri dalam proses pembelajaran. Sementara keteladan ekternal dapat dilakukan dengan pemberian contoh - contoh yang baik dari para tokoh yang diteladani (dalam konteks penanaman nilai nasionalis, bisa berupa tokoh-tokoh pahlawan bangsa) baik tokoh lokal maupun tokoh internasional,. Misalnya, para perangkat sekolah mengikuti upacara bendera dengan khidmat setiap hari senin, datang tepat waktu, membuat aturan atau acara khusus untuk membangkitkan semangat kebangsaan dan nasionalisme (seperti sebelum belajar, guru meluangkan waktu 5 menit untuk menyanyikan lagu nasional, menonton video sejarah bangsa, mengajak para siswa memperingati hari-hari bersejarah bangsa dengan lomba baca puisi dan lain sebagainya, atau bisa juga dengan mengadakan acara study tour ke tempat-tempat bersejarah).
Untuk implementasi di dalam kelas, guru PKn dapat melakukan atau menerapkan metode bermain peran (role playing games) atau simulasi tentang suatu peristiwa yang terjadi. Dalam pembelajaran suatu simulasi dilakukan dengan tujuan agar peserta didik memperoleh keterampilan tertentu, baik yang bersifat profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Dapat pula simulasi ditujukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip,serta bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan pendidikan karakter. Misalnya, bermain peran mengenai proses pembacaan teks proklamasi, siswa disiapkan untuk memainkan situasi dimana ketika itu Indonesia secara de facto dan de jure telah merdeka, dan Bung Karno bertindak sebagai proklamator kemerdekaan. Ada yang memerankan Bung Karno, ada yang menjadi pengerek bendera, ada yang berperan menjadi Bung Hatta dan lain sebagainya. Diharapkan melalui metode ini, siswa merasa ikut terlibat dalam suasana tersebut, meskipun hanya berupa bermain peran saja. Namun siswa akan belajar dan mengetahui bagaimana suasana yang terjadi, belajar tentang sejarah bangsa, belajar tentang bagaimana susahnya untuk meraih kemerdekaan dan juga belajar untuk bisa memahami kondisi bangsa. Nilai-nilai itulah yang nantinya harus dijelaskan oleh guru kepada siswa di akhir pelajaran. Diharapkan melalui strategi dan metode yang dilakukan, siswa dapat menerapkan dan mengimplementasikan karakter yang diinginkan dalam kehidupannya, yang secara sistematis, siswa mengetahui nilai secara kognitif, memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan pembentukan tekad secara konatif yang oleh Ki Hadjar Dewantara langkah-langkah tersebut disebut sebagai cipta, rasa, dan karsa.
Untuk penilaian, secara umum dapat dilakukan dengan cara tes tertulis ataupun lisan (ranah kognitif), tes skala sikap (likert scale) untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap seseorang (ranah afektif), dan untuk ranah psikomotor penilaian bisa dilakukan melalui observasi. Observasi dalam hal ini diartikan sebagai jenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain dengan pengamatan langsung.[7]
Stanza II
Indonesia, tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Disanalah aku berdiri
Untuk slama-lamanya
Indonesia, tanah pusaka
P’saka kita semuanya
Marilah kita mendoa
Indonesia bahagia
Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya
Bangsanya, Rakyatnya, Semuanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
Nilai karakter yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya stanza II :
* Religius
* Integritas
A. Analisis/Argumen
Pada lagu Indonesia Raya stanza II ini, saya mendapatkan 2 nilai karakter yang terkandung dalam liriknya, yakni nilai karakter “religius” dan juga “integritas.”
Nilai religius saya identifikasi dalam kata “marilah kita mendoa, Indonesia bahagia.” Sedangkan nilai integritas saya identifikasi dalam kata-kata “sadarlah hatinya, sadarlah budinya, untuk Indonesia Raya”
2 nilai karakter tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, seperti misalnya nilai karakter integritas yang muncul dan tumbuh dari nilai-nilai religius, karena religius atau agama merupakan sumber dari segala sumber nilai yang ada. Sehingga apa yang disebut dengan integritas akan dengan kuat tertanam jika kita berpegang teguh pada ajaran agama. Saya akan coba contohkan implementasi dari nilai-nilai religius dan juga integritas secara bersamaan dalam konteks kepemimpinan yang berdasar pada sejarah bangsa Indonesia. Mengapa saya memilih konteks kepemimpinan? Karena saya rasa, akan sangat tepat jika membahas masalah integritas jika dihubungkan dengan kepemimpinan, karena pemimpin merupakan contoh dan sauri tauladan bagi pengikutnya, sehingga apa yang dilakukan, baik dalam ucapan serta perbuatan/prilaku akan sangat berpengaruh terhadap nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat tersebut. Lalu kemudian muncul pertanyaan, apakah integritas itu? Mengapa harus ada dalam diri seorang pemimpin? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Antonius dalam Jurnal Humaniora menulis mengenai integritas. Dia mengemukakan bahwa :[8]
Integritas merupakan hal sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin. Ketika seorang pemimpin tidak memiliki integritas maka cepat atau lambat akan hancurlah kelompok atau organisasi yang dipimpinnya itu. Hal ini terjadi tidak lain karena apapun kebijakan, keputusan, sikap dan tindakan seorang pemimpin akan berdampak sangat luas bagi keseluruhan organisasi yang dipimpinnya. Seorang pemimpin akan menjadi pusat perhatian, dan apapun yang mereka saksikan dari dirinya akan memberi pengaruh besar dalam perjalanan organisasi secara keseluruhan. Integritas telah diberi macam-macam pengertian, dan semuanya ada saling keterkaitan, yang intinya menunjuk pada kualitas pribadi seseorang, yang membuat seseorang itu dapat dipercaya dan diandalkan.
Untuk dapat mengetahui bagaimana contoh daripada pemimpin yang memiliki integritas tinggi namun juga religius, kita bisa liat para pahlawan bangsa kita. Saya ambil contoh Jenderal Soedirman yang dalam usia relatif masih muda dipercaya menjadi jenderal besar TNI. Ketika agresi militer Belanda I, beliau memutuskan untuk memilih perang gerilya sebagai bentuk upaya perlawanan terhadap Belanda, sehingga Belanda pada saat itu kalang kabut menghadapi pasukan Jenderal Soedirman. Meskipun pada saat memimpin bala tentaranya, beliau sedang mengalami sakit parah dan terpaksa harus bergerilya dengan ditandu. Semangat untuk terbebas dari penjajahan tak pernah padam dalam diri beliau. Bahkan diceritakan bahwa meski terkena tembakan, dan dalam keadaan sakit parah, beliau tetap dapat memimpin pasukan hingga pada akhir masa gerilya nya. Sehingga sempat muncul rumor jika Jenderal Soedirman selalu membawa 3 jimat yang dibawa saat perang gerilya. Namun jimat yang dimaksud itu ternyata : jimat pertama adalah wudhu, kedua salat tepat waktu, dan yang terakhir adalah mengabdikan diri dengan tulus ikhlas membela Tanah Air.
Hal tersebut tentunya sangat mewakili sosok pemimpin yang tidak hanya berintegritas namun juga religius, karena meski beliau sedang sakit, namun beliau tetap berpegang teguh pada pendirian, tetap memimpin pasukan dan memotivasi pasukan ketika ada dari mereka yang merindukan keluarga nya sehingga ada sebagian yang ingin pulang, namun beliau tidak marah, beliau mempersilahkan bagi mereka yang ingin pulang untuk bertemu keluarga mereka, namun beliau hanya berpesan agar semangat dan pantang menyerah untuk membela tanah air jangan pernah pudar dalam diri mereka, hingga pada akhirnya pasukan yang beliau pimpin tidak jadi pulang dan justru ingin ikut dengan beliau sampai akhir. Beliau selalu percaya pada kuasa dan kehendak Tuhan, bahwa semua terjadi atas izin Allah SWT, kematian itu takdir, namun untuk terbebas dari penjajahan adalah hal yang harus diraih dan diperjuangkan.
Contoh selanjutnya yakni dari founding fathers kita, Bung Karno dan Bung Hatta. Sempat dalam suatu wawancara dengan reporter Amerika Cindy Adams. Ketika Bung Karno membantah bahwa dirinya sedang sakit, lalu kemudian Cindy Adams bertanya, “apakah anda sudah memperkirakan sebelumnya, bahwa semua ini bisa terjadi?” lalu Bung Karno menjawab “saya sangat percaya kepada Tuhan, semua bergantung kepada yang diatas, hidup atau mati…bergantung kepada Tuhan..limbung atau tidak limbung…semua juga bergantung kepada Tuhan..saya tidak melihat pertanda apapun, apakah saya akan limbung..atau orang lain akan membuat saya limbung.” Kemudian Cindy Adams bertanya kembali “Pernahkah terpikir, bila anda sudah tidak ada, bagaimanakah anda ingin dikuburkan?” lalu bung Karno menjawab “dibawah pohon besar….dibawah batu besar…dibawah batu nisan, dibatu nisan mereka tidak boleh menulis disini terbaring yang terhormat, yang teragung, presiden Soekarno. Bukan Itu! Cukup tertulis disini terbaring Bung Karno bagian dari rakyat Indonesia”
Begitu pula dengan Bung Hatta, integritas yang beliau miliki terekam dalam sejarah selama beliau mendampingi Bung Karno selama hidupnya, yang berperan sebagai sahabat, sekaligus menjadi wakil presiden terpilih kala itu. Meski Bung Hatta dan Bung Karno tidak selalu akur, karena ada kala nya mereka berdua “bertengkar” karena berbeda pandangan politik, yang karena perbedaan tersebut akhirnya Bung Hatta memutuskan mundur pada tahun 1956, namun meski tidak lagi bersama, mereka berdua sosok pemimpin yang tidak mau menjelekkan dan saling menghargai satu sama lain. Bahkan Soekarno pernah sangat marah sekali ketika DN Aidit membaca naskah teks proklamasi pada saat 17 Agustus tanpa menyebutkan nama Hatta. Seketika itu beliau langsung meninggalkan tempat upacara dan langsung pergi kerumah, dan ketika sampai rumah, beliau langsung memukul meja, kemudian Guntur pada saat itu merasa kaget dan bertanya kepada Bung Karno “Kenapa pak?” lalu Bung Karno Menjawab “saya memang kadang-kadang merasa jedak dengan Hatta, dan saya kadang-kadang saling pukul memukul dengan Hatta, tetapi menghilangkan nama Hatta dari teks proklamasi benar-benar tidak bisa saya tolerir. Menghilangkan nama Hatta dari teks proklamasi merupakan sebuah dosa besar bagi bangsa ini, karena dia berjasa buat bangsa!” Sebaliknya, Hatta pun selalu membela Soekarno dari orang-orang yang mengejeknya. Hatta tak rela Presiden Republik Indonesia dilecehkan diluar negeri. Ketika itu, tahun 1956, Hatta melakukan kunjungan ke Amerika, dan Amerika pada waktu itu sedang tidak suka dengan gaya kepemimpinan Soekarno, dan diam-diam mereka berharap pada Hatta yang pada waktu beliau mengundurkan diri mengeluarkan pernyataan yang mendeskriditkan Soekarno. Tapi apa yang keluar dari mulut bung Hatta pada waktu itu? Dia bilang bahwa “kalian jangan terus-terusan menjelek-jelekkan presiden saya, bagaimanapun juga Soekarno adalah presiden saya!” Sikap yang ditunjukkan Hatta dalam pidatonya di Amerika, meskipun dia berbeda pandangan politik, dan sedang berada diluar negeri tidak lantas membuat dia untuk menjelek-jelekkan Soekarno. Memang manusiawi jika ada kebijakan dan kata-kata yang salah dari Soekarno, namun beliau dianggapnya sebagai presiden Indonesia yang dihormati dan dihargai oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan pertemuan terakhir 2 bapak bangsa ini diceritakan sangat mengharukan, tidak banyak kata yang terucap, tapi keduanya telah saling mengerti dan saling memaafkan. Beberapa hari setelah pertemuan itu, Soekarno meninggal. Sahabat tetap sahabat dan politik tetap politik. Inilah yang mungkin sulit atau tidak dapat kita jumpai lagi dalam diri para politisi kita saat ini.
B. Pendekatan, Strategi, Metode, Media dan Penilaian
Dalam 18 nilai karakter yang dirumuskan oleh pemerintah, nilai karakter “religius” masuk kedalam salah satunya, sedangkan untuk nilai karakter “integritas” tidak secara jelas termasuk kedalam 18 nilai karakter. Namun dalam lirik yang ada pada stanza II yang saya identifikasi masuk kedalam nilai integritas, yakni “sadarlah hatinya, sadarlah budinya” sebenarnya secara luas mengacu kepada nilai-nilai kebaikan yang berasal dari hati dan budi setiap individu “bangsanya, rakyatnya, semuanya”. Tentunya nilai-nilai yang dimaksudkan saya artikan kepada nilai-nilai seperti yang terkandung dalam pengertian integritas. Menurut Henry Cloud, ketika berbicara mengenai integritas, maka tidak akan terlepas dari upaya untuk menjadi orang yang utuh dan terpadu di setiap bagian diri yang berlainan, yang bekerja dengan baik dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Integritas sangat terkait dengan keutuhan dan keefektifan seseorang sebagai insan manusia. Sedangkan menurut Andreas Harefa, integritas merupakan tiga kunci yang bisa diamati, yakni menunjukkan kejujuran, memenuhi komitmen, dan mengerjakan sesuatu dengan konsisten. Nilai “kejujuran” dan “tanggung jawab” merupakan bagian daripada nilai-nilai integritas yang secara jelas ada dalam 18 nilai karakter yang dirumuskan oleh pemerintah. Sedangkan integritas sebagai bagian dari nilai yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, Ratna Megawangi memasukkannya dalam salah satu 9 pilar karakter, yaitu “adil dan berjiwa kepemimpinan.”[9]
Untuk menanamkan nilai karakter religius dan integritas, saya rasa cocok jika kedua nilai tersebut lebih ditekankan pada mata pelajaran Pendidikan Agama dan juga Pendidikan Kewarganegaraan. Karena nilai-nilai religius yang berdasar pada keagamaan bisa di dapat dari mata pelajaran agama, entah itu pendidikan agama Islam, Kristen dan sebagainya. Karena melalui pendidikan agama, siswa tidak hanya diajarkan untuk mengetahui apa yang diajarkan oleh agama, dan tak hanya sekedar menjauhi larangan dan mematuhi perintah-Nya, namun juga menerapkan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama. Sedangkan untuk menerapkan nilai integritas, PKn dapat menjadi mata pelajaran yang tepat, seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, bahwa PKn bertujuan untuk membentuk siswa menjadi warga negara yang baik “good citizenship” yang mengetahui hak serta kewajiban sebagai warga negara dan juga bertanggung jawab. Mohammad Haitami Salim berpendapat, bahwa tujuan pendidikan karakter adalah membangun kepribadian dan budi pekerti yang luhur sebagai modal dasar dalam berkehidupan ditengah-tengah masyarakat, baik sebagai umat beragama, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari pendapat tersebut, dapat saya simpulkan bahwa berkehidupan sebagai umat beragama diwakili oleh Pendidikan Agama, sedangkan kehidupan berbangsa dan bernegara diwakili oleh Pendidikan Kewarganegaraan.
Pendekatan yang dapat dilakukan, saya mencoba mengambil salah satu pendekatan yang dikemukakan oleh Superka. Seperti misalnya Pendekatan penanaman nilai, hampir sama dengan pendekatan yang coba diterapkan untuk menanamkan nilai nasionalisme, yakni dengan metode keteladanan, dimana untuk menanamakan nilai karakter religius dan integritas juga tentunya perlu adanya keteladan yang dicontohkan oleh perangkat sekolah khususnya guru. Kemudian pembelajaran yang mengutamakan siswa sebagai pusat pembelajaran (student center approach) karena nantinya guru tak hanya mentransfer ilmu berdasarkan “aturan mati”, seperti guru hanya menggunakan ceramah saja, dan siswa hanya diberikan kesempatan untuk bertanya dan mengembangkan pikiran mereka. Tentunya untuk menerapkan nilai-nilai religius dan integritas, siswa harus berusaha untuk lebih aktif mencari, menilai, melihat, bertanya dan mengimplementasikan sendiri apa yang telah diajarkan, sehingga disini siswa ditekankan untuk lebih aktif dan guru hanya sebagai fasilitator saja dalam proses mengembangkan potensi diri, keterampilan dan perilaku si peserta didik.
Selain dari pendekatan keteladanan, pendekatan lain seperti values clarification approach juga dapat digunakan. Adapun tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga, yaitu: Pertama, membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu peserta didik agar mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupannya sendiri. Ketiga, membantu peserta didik, agar mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Jadi, pendekatan klasifikasi nilai bisa memberikan wawasan yang lebih objektif bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan sosialnya sesuai dengan nilai- nilai moral yang berlaku untuk membentuk karakternya. Strategi yang nantinya dapat digunakan adalah strategi pembinaan, dimana pembinaan tak hanya melibatkan guru saja, namun juga keluarga dan juga masyarakat.
Sedangkan dalam pengaplikasiannya di dalam kelas, guru bisa menggunakan berbagai macam metode pembelajaran yang tepat untuk menanamkan nilai religius dan integritas seperti misalnya menggunakan metode cooperative learning untuk membangun kerjasama dan jiwa kepemimpinan, kemudian problem based learning, dan problem solving, agar siswa dapat berpikir kritis serta belajar untuk dapat memecahkan permasalahan tersebut, penguatan positif dan negatif, permainan peran dan sebagainya.
Untuk penilaian, saya gunakan penilaian seperti pada pembahasan sebelumnya yaitu dengan cara tes tertulis ataupun lisan (ranah kognitif), tes skala sikap (likert scale) untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap seseorang (ranah afektif), dan untuk ranah psikomotor penilaian bisa dilakukan melalui observasi.
Stanza III
Indonesia, tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri
M’njaga ibu sejati
Indonesia, tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji
Indonesia abadi
S’lamatlah rakyatnya
S’lamatlah putranya
Pulaunya, Lautnya, Semuanya
Majulah negrinya
Majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya
Nilai karakter yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya stanza III :
* Gotong Royong
* Mandiri
A. Analisis/Argumen
Pada stanza III ini, saya mengidentifikasi ada 2 nilai karakter yang terkandung di dalamnya. Yaitu nilai “gotong royong” dan juga nilai “kemandirian.” Nilai-nilai tersebut dapat saya temukan dari makna yang terdapat dalam beberapa kata, seperti nilai “gotong royong” saya temukan dari kata-kata “marilah kita berjanji, Indonesia abadi.” Sedangkan nilai mandiri saya temukan dari kata-kata “s’lamatlah rakyatnya, s’lamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya…”
Dari segi kebahasaan, tentunya 2 nilai ini memiliki arti yang kontradiktif, dimana kata “mandiri” diartikan sebagai usaha yang dilakukan sendiri tanpa dibantu, sedangkan “gotong royong” yaitu kerjasama, atau usaha yang dilakukan secara bersama-sama. Namun jika dimaknai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 2 nilai karakter ini merupakan karakter khas yang tumbuh dan berkembang sebagai jati diri masyarakat Indonesia. Dalam prakteknya, kembali lagi saya contohkan melalui analisis historis tokoh-tokoh sejarah, karena menurut saya, nilai-nilai yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya, tak lepas dari bagaimana situasi sejarah kala itu yang menekankan pada semangat kebangsaan, cinta tanah air, penggambaran perjuangan bangsa, serta cita-cita bersama bangsa Indonesia. Maka dari itu saya rasa tepat jika saya korelasikan dengan tokoh-tokoh sejarah masa lalu.
Nilai kemandirian saya maknai sebagai nilai luhur bangsa yang mendambakan kemerdekaan dan berusaha bangkit sebagai bangsa yang “berdiri di atas kaki sendiri” atau yang disebut dan diperkenalkan oleh Bung Karno dengan istilah Berdikari. Konsep mengenai Berdikari (Berdiri diatas kaki sendiri) pernah diungkapkan Bung Karno pada sebuah pidato tahun 1965. Dalam pidatonya, bung Karno membukanya dengan pemaparan situasi internasional dan situasi nasional yang sedang bergerak saat itu. Di tengah situasi politik nasional dan internasional yang sedang panas waktu itu, memberikan tekanan yang kuat terhadap ekonomi nasional Indonesia. Hal tersebut, menurut bung karno, dapat mengancam eksistensi Indonesia sebagai Negara yang masih berusia muda. Dari pemaparan situasi tersebut, maka harus ada usaha untuk tetap menjaga dan memperkuat ketahanan revolusi Indonesia. Maka konsep BERDIKARI adalah upaya yang dilakukan demi membentengi daripada revolusi Indonesia. Tentunya yang diharapkan dari konsep Berdikari ini tak hanya mandiri secara ekonomi, namun juga dalam aspek lainnya seperti mandiri dalam hal pengelolaan SDA dan mineral, sehingga kekayaan alam kita seperti hasil laut, hasil tambang, dan lain sebagainya dapat dimaksimalkan dengan baik untuk kemaslahatan bersama. Agar nantinya kualitas manusia nya terbangun dan kekayaan alam nya dapat digali potensinya dengan tidak bergantung pada asing, seperti yang terkandung dalam makna lirik “s’lamatlah rakyatnya, s’lamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya…”
Selanjutnya nilai karakter gotong royong yang saya maknai dalam lirik / kata-kata “marilah kita berjanji, Indonesia abadi.” Dalam lirik tersebut terdapat kata “berjanji”, berjanji merupakan kesepakatan umum (konsensus). Pada konteks keseluruhan lirik tersebut, maka konsensus tersebut mengacu kepada konsepsi yang dijelaskan oleh Bung Karno bahwa setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Soekarno, “tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain sebagainya.” Konsepsi yang melandasi semua hal itu adalah semangat gotong royong. Bung Karno mengatakan, “gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong.”[10]
B. Pendekatan, Strategi, Metode, Media dan Penilaian
Dalam 18 nilai karakter yang dirumuskan pemerintah, nilai karakter “mandiri” dijelaskan sebagai sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Sedangkan nilai karakter “gotong royong” tidak secara tegas dijelaskan dalam 18 nilai karakter yang dirumuskan pemerintah. Namun saya mencoba mengambil dari rumusan nilai-nilai karakter yang lain, seperti dari 9 nilai karakter yang dirumuskan oleh Megawangi, disana ada salah satu nilai yang merujuk kepada nilai gotong royong, yakni nilai kasih sayang, peduli dan kerjasama. Kemudian Ary Ginanjar[11] juga merumuskan beberapa nilai karakter yang didalamnya terdapat nilai kerjasama. Untuk 2 nilai karakter ini, tentunya saya rasa semua mata pelajaran mengintegrasikan kedalam pembelajarannya, seperti nilai kemandirian, dimana siswa diajarkan untuk mandiri ketika mengerjakan tugas atau ketika menghadapi ujian, sedangkan nilai gotong royong dapat terlihat dari metode yang digunakan oleh guru, terkhusus dalam kurikulum 2013 dimana pembelajaran yang berpusat pada siswa diharuskan harus dapat mengembangkan niai-nilai kerjasama dalam diskusi kelompok yang di fasilitasi oleh guru. Tak hanya dalam pembelajaran, dalam kegiatan di sekolah juga, nilai-nilai tersebut sudah mulai dijadikan suatu pembiasaan dimana siswa diajarkan kemandirian ketika siswa berada di dalam lingkungan sekolah, mereka secara otomatis menjadi anggota dari komunitas masyarakat belajar yang secara individu/mandiri melakukan kegiatan atau aktivitas belajar dan sesuai dengan hak nya untuk mendapatkan pembelajaran. Sedangkan nilai gotong royong dapat diperolah melalui program sekolah seperti bersih-bersih lingkungan sekolah, piket kelas, melaksanakan upacara bendera melalui pembagian tugas dan fungsi masing-masing siswa yang menjadi pelaksana, dan lain sebagainya.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam menanamkan nilai-nilai tersebut saya rasa akan tepat jika menggunakan pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Ada dua tujuan utama dari pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong peserta didik untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. Strategi yang digunakan bisa menggunakan strategi inkulsasi nilai dimana menurut Paul Suparno[12], nilai kemandirian diwakili oleh beberapa indikator seperti : Keberanian mengambil keputusan secara jernih dan benar, mengenal kemampuan diri, membangun kepercayaan diri, dan menerima keunikan diri. Sedangkan untuk nilai gotong royong, cenderung mengarah kepada sosialitas yang memiliki indikator : Penghargaan akan tata kehidupan bersama, solidaritas yang benar dan baik, persahabatan yang sejati, berorganisasi dengan baik dan benar, membuat acara yang sehat dan berguna. Sedangkan metode yang dapat digunakan oleh guru antara lain bisa dengan menggunakan metode diskusi kelompok (group discussion), atau pembelajaran kerjasama kelompok (cooperative learning), dan untuk memupuk kemandirian, bisa melalui pemberian tugas mandiri, bisa melalui metode pemecahan masalah atau berbasis masalah, dan lain sebagainya.
Untuk penilaian, tetap saya gunakan penilaian seperti pada pembaasan sebelumnya yaitu dengan cara tes tertulis ataupun lisan (ranah kognitif), tes skala sikap (likert scale) untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap seseorang (ranah afektif), dan untuk ranah psikomotor penilaian bisa dilakukan melalui observasi yang ditindaklanjuti oleh guru.
Daftar Bacaan
Dalmeri, “Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter, Telaah terhadap Gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character”, Jurnal Al-Ulum IAIN Sultan Amai Gorontalo, Volume 14, Nomor 14
Donysetiawan. 2015. Teori Nasionalisme. [tersedia online] http://www.donisetyawan.com/teori-nasionalisme/. [diakses tanggal 10 November 2017]
Gea, Antonius Atosökhi. "Integritas Personal dan Kepemimpinan Etis." Humaniora 5.2 (2014): 950-959.
Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Karakter : Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor : Indonesia Heritage Foundation
Mochtar, Suwarma Al. 2016. Ideologi Pancasila. Bandung : Gelar Pustaka Mandiri
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI
Syarbini, Amirulloh. 2014. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta : PT Gramedia
Wahab & Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Alfabeta
Wahab & Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Alfabeta
Zuriyah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta : Bumi Aksara
[1] menurut Hans Kohn dalam Encyclopedhia Of Sosial Science dalam Donysetiawan. 2015. Teori Nasionalisme. [tersedia online] http://www.donisetyawan.com/teori-nasionalisme/. [diakses tanggal 10 November 2017]
[2] Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, sambutan pimpinan tim kerja MPR RI, hal. xvii
[3] Syarbini, Amirulloh. 2014. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta : PT Gramedia, hal. 37-38
[4] Mochtar, Suwarma Al. 2016. Ideologi Pancasila. Bandung : Gelar Pustaka Mandiri, hal. xi
[5] Cogan & Dericot dalam Wahab & Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Alfabeta, hal. 33
[6] Dalmeri, “Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter, Telaah terhadap Gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character”, Jurnal Al-Ulum IAIN Sultan Amai Gorontalo, Volume 14, Nomor 14 (Juni 2014), 278.
[7] Muhibbin Syah dalam Syarbini, Amirulloh. 2014. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta : PT Gramedia, hal. 95
[8] Gea, Antonius Atosökhi. "Integritas Personal dan Kepemimpinan Etis." Humaniora 5.2 (2014): 950-959.
[9] Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Karakter : Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor : Indonesia Heritage Foundation, hal. 8
[10] Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, sambutan pimpinan tim kerja MPR RI, hal. 2-3
[11] Muhibbin Syah dalam Syarbini, Amirulloh. 2014. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta : PT Gramedia, hal. 39
[12] Nurul Zuriyah, Pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif perubahan (Jakarta : Bumi Aksara, 2007 , hlm 41-42