Sore yang penuh kebodohan, sementara hujan begitu deras dengan petir yang mengeluarkan suara seram. Rumah kosong. Tidak ada nyawa lain selain aku dan monyet baru tumbuh, Bino. Kuberi nama begitu, sebab sekujurnya putih, albino. Kenny G menggelar konser di ruang itu secara maya.
Pelan-pelan rindu menerabas dada sepelan air hujan merembes dinding ruang tengah. Semasa kemarau aku kerap lupa memeriksa dan membetulkan genting yang terlepas dari tulang atap, atau langit-langit internit yang diam-diam digerogoti cecurut. Atau juga lupa kalau hujan bisa saja datang semaunya dan menghadirkan semuanya. Termasuk rindu. Memang, ketika dalam keadaan baik-baik saja, pikiran kita selalu luput untuk mencegah yang demikian buruk di kemudian.
Seperti halnya aku melulu lupa. Setiap kali ada satu waktu bertemu kamu. Tidak ada percakapan yang bisa kuantarkan ke dalam telingamu. Padahal jika didedah, kata-kata dalam dadaku akan menyembur keluar berjejalan serupa kelelawar yang digubris tempat tinggalnya. Tentu saja bukan tak ingin bicara banyak, bicara “Kamu baik-baik saja?” pun sulitnya minta ampun. Aku bisu, dalam pengertian yang sebenarnya. Kata-kata kembali kutelan tanpa mampu kumuntahkan.
Kamu adalah orang yang bertahan bertahun-tahun menyertai kebisuaanku. Kamu orang yang dapat mengerti segala percakapan yang kulontarkan tanpa kata-kata. Meski dengan bahasa tubuhmu yang menggerutu. Dengan mimik kecewa yang tidak sedikit. Kamu yang kumaksud adalah ibu. Maaf, manusia mana yang ingin jadi bisu, Bu?
Tentang bagaimana bisa lidahku menjadi kelu, tak pernah ada orang yang menceritakannya padaku. Sekalipun ibuku sendiri. Entah karena tidak tega menceritakannya, atau memang tidak berguna menceritakannya, atau justru mereka takut menebalkan rasa kecewa setelah melahirkanku.
Maka mereka seperti ikhlas menerimaku—jika aku tidak boleh memakai kata “pasrah” untuk sikap mereka. Di hadapanku, ia tak banyak bicara, padahal depan mereka yang dapat bercakap, ia wanita cerewet. Depanku, mungkin ia sedang menyesuaikan diri: menyesuaikan menjadi bisu.
Kalau aku melulu gagal mendapatkan manusia untuk bercakap-cakap, maka aku memilih makhluk lain di luar manusia yang dapat kuajak bicara. Ketika manusia tak sabar berkawan dengan kebisuanku, maka harusnya ada makhluk lain yang lebih tabah menerimaku sebagai sahabat.
Bino, kawan bicara yang bisa mengerti percakapan tanpa kata-kata atau kalimat sulit yang ambigu. Ia kutemukan di Pasar Sukahaji Bandung dua puluh bulan lalu. Ketika itu, aku pergi dari rumah setelah dilanda bosan berkepanjangan. Pergi ke terminal, naik bus Sangkuriang jurusan Bandung. Berhenti di Terminal Leuwi Panjang. Itulah satu-satunya alur yang kuketahui. Selebihnya aku mengendarai kaki saja.
Banyak tempat aku sambangi. Menyimak tukang obat kulit yang fasih berorasi. Mengamati benda-benda loak dan antik di sepanjang Astana Anyar. Atau mencoba menjaring makna setiap lukisan di pinggir jalan Asia-Afrika. Semua peristiwa menjejal antusiasku dengan gemas. Tanpa banyak bicara, mereka dapat bisa kupahami. Tanpa bicara juga, aku melebarkan senyum tanda kagum.
Sampailah aku di pasar yang dipenuhi beragam satwa yang kebanyakan burung-burung berbagai jenis. Membaca papan di depan, namanya Pasar Sukahaji. Merasa tertarik, aku masuk melihat-lihat. Di sisi dalam pasar, di kios penjual pakan hewan. Aku bertemu Bino, eh maksudku monyet albino yang nantinya kubeli dan kuberi nama Bino.
Monyet itu masih bayi sekali. Mungkin baru dilahirkan beberapa hari yang lalu. Ia tidak abu-abu, dari bayi ia sudah albino. Aku mengarahkan telunjuk padanya.
“Mangga Kang, dua ratus lima puluh rebu we sok artosan,” si penjual menghampiri sambil memantik Djarum Coklat.
Mata monyet itu binar, mataku mati menatapnya. Aku kasmaran. Seperti ada yang ingin dipertemukan dari pertemuan mata itu. Seperti ada keterkaitan. Sepeti ada cerita keterasingan yang mesti kita bagi masing-masing. Banyak yang bisa dimengerti. Barangkali, sebab kita sama-sama tak bisa sekadar bilang “halo”, maka kita mengerti di luar dari yang bisa disampaikan kata-kata. Ia bergelisah seperti ingin keluar dari besek kotak tempat ia tidur.
Aku mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kananku. Isyarat menawar harga monyet itu.
“Tambihan lima puluh rebu deui, Kang,” si Penjual setengah berpikir sambil memandang si monyet sekilas, lantas menyedot rokoknya.
Aku mempertegas gerakan dua jari itu. Sampai terucaplah sebuah kata dari mulut si penjual yang memakai topi berbahan kodoroi itu,
“Mangga atuh, Kang. Candak,” ia menyimpan rokoknya lalu beranjak mempersiapkan si monyet agar aman dibawa olehku nantinya.
Kuserahkan selembar seratus ribu, dan dua pecahan lima puluh ribuan. Monyet kubawa pulang dengan hati dan bibir yang riang.
Di jalan pulang menuju rumah. Aku memantas-mantas sebuah nama. Tentu saja untuk kawan baruku. Dalam hati—karena tidak mampu kuucapkan—aku panggil ia “Bino”. Bukan dari lemah fisiknya. Aku justru suka pada kulitnya yang berbeda dari monyet kebanyakan. Seperti halnya mereka memanggilku bisu. Dengan diam-diam atau secara terang-terangan.
Berbeda, membuat seseorang atau sesuatu menjadi mudah diingat. Berbeda, membuat seseorang terlambat dilupakan. Berbeda, menjadikan seseorang batal diperlakukan rata-rata. Ia akan selalu diperlakukan—atau dipandang—berbeda dari orang-orang yang umum. Perlakuan menonjol itu bisa berarti baik atau sebaliknya. Seperti aku dan kawan baruku, Bino.
*
Hujan masih deras. Seperti rindu yang lebih keras dari hari kemarin. Wajan, mangkok plastik, dan wadah-wadah lainnya telah penuh air rembesan. Kubiarkan. Seperti aku membiarkan rindu yang melulu tumpah tak terwadahi. Rindu pada entah. Pada apa dan siapa aku tak paham. Jangan-jangan, karena aku tak punya sesuatu untuk dirindukan. Maka aku rindu untuk bisa merindu.
Bino yang kubicarakan tak banyak tingkah dari kemarin. Mulutnya yang selalu meracau, kini bungkam tak banyak kicau. Awalnya aku tak tertarik memikirkan sebabnya. Tapi karena suara hujan saja yang terdengar, maka segala pikiran apapun menjadi menarik untuk masuk ke dalam kepala. Jadilah aku berpikir ini-itu tentang Bino.
Pisang yang kusuguhkan padanya sebagai sarapan, tak lekas-lekas ia kupas seperti biasanya. Pisang itu hanya ia pegang sedari tadi, dengan matanya yang kosong melompong. Sepertinya, selain kehilangan gairah bertingkah, ia pun kehilangan nafsu makannya.
Kebungkaman memang dibutuhkan manakala kita terjebak pada ceracau orang yang menyobek kuping kita. Kebungkaman diperlukan ketika setiap ucapan kita akan melebur di udara dengan sia-sia. Oh tidak, aku lupa kalau aku bisu.
Banyak bicara hanyalah dilakukan bagi orang-orang yang tidak mau kelihatan bungkam. Banyak bicara hanya bagi mereka yang takut kata-katanya tersapu begitu saja dari kepala. Banyak bicara ingin menegaskan arti bahwa mereka ada. Banyak bicara hanya buat mereka yang mulutnya bisa mengeluarkan suara dan susunan kalimat. Aku dan Bino tidak mumpuni berkata-kata, maka kami lebih senang saling tersenyum, saling menyuapi, atu mencari kutu. Kami lebih sering berpandangan, sambil membicarakan percakapan mahasunyi. Secara batiniah dan tersembunyi.
Setelah memandang Bino berlama-lama. Aku sedikit mendapat pencerahan tentang musabab kebungkamannya. Kuhitung kebersamaanku dengannya. Lima belas bulan. Ketika seseorang memutuskan untuk bersama, mereka akan menjadi sepasang. Lalu akan bertukar apapun satu sama lain. Sebuah pasangan yang hebat, akan mirip satu sama lain. Setidaknya ini yang kusimak dari sebuah bincang di televisi.
Lama-lama aku berpikir, kantuk mulai berkunjung. Aku tertidur lantas bermimpi, padahal aku tak ingin bermimpi selain aku bermimpi bisa bicara dan bisa didengar. Dalam mimpi, aku tersesat di suatu tempat yang asing. Tak ada sahut manusia, bahkan batang hidungnya pun tak kujumpai satupun. Yang kusaksikan hanyalah hutan pohon pisang yang berjantung dan berbuah. Ada bermacam-macam jenis, tapi tak tahu nama satu-satunya. Hanya pisang lumut yang biasa kuberikan pada Bino, yang mungkin satu jenis pisang yang kutahu di sana.
Sewaktu menggisik mata dekat pohon pisang berwarna kuning yang berjejer, seekor monyet besar berjanggut menghampiri dan memetikkan pisang untukku.
“Kamu bukan kawanan dan berasal dari kawasan kami, kan?” aku kaget, masa ada monyet bisa bicara.
Aku belum sadar kalau sedang bermimpi waktu itu. Sampai saya bisa menjawab si monyet dengan kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri, barulah saya paham bahwa ini adalah mimpi.
“Saya tersesat. Entah tersasar karena pikiran hingga mendamparkan saya pada tempat ini,” aku girang sebab bisa bicara dengan lancar dan mendengar ucapanku sendiri.
“Kamu manusia. Ini kawasan kami. Bangsa monyet,” ucap si monyet sambil mempersilakan saya duduk di atas gedebok dan makan pisang suguhannya itu.
“Saya adalah ketua bangsa monyet ini. Tebak, kenapa saya diangkat menjadi ketua?” aku menggeleng, menepuk-nepuk gedebok, lantas mendudukinya.
Kemudian ia menceritakan kalau dahulu ia pernah hendak diusir dari sini. Ia monyet yang harus diusir karena dapat berbicara. Ia dianggap bukan monyet. Sebab bicara hanya bisa dilakukan bagi mereka yang memiliki bahasa. Bahasa hanya dimiliki oleh manusia. Binatang tak dapat berbahasa karena ia tak setinggi manusia.
“Rumit dijelaskan kenapa sampai bisa saya bicara,” ungkapnya sembari memandang kawanan awan yang mengepul di langit.
Akan tetapi, ketua monyet ini pernah berjasa dalam menyelamatkan bangsanya yang dilanda kelaparan. Ia minggat menuju bangsa manusia. Dengan kemampuan berbahasanya, ia menyimak setiap pembicaraan manusia mengenai pertanian dan kesuburan. Lalu ia kembali dan berupaya menyuburkan lahan bangsanya. Ia tanami tanah di sini dengan berbagai jenis pisang.
“Dan lihatlah di sekelilingmu kini,” kata ketua sambil melebarkan kedua lengannya ke kiri dan kanan.
Semenjak pisang berbuah dan mengenyangkan setiap perut di kawasan ini, dia dinobatkan sebagai sebagai pemimpin bangsa monyet. Ia dihormati, seperti beberapa bangsa menghormati Dewi Sri.
Entah, waktu mendengar ceritanya aku merasa kerdil dan ciut. Terutama ketika si ketua bicara bahwa bahasa milik manusia, hanya manusia yang dapat berbahasa. Aku merasa selama ini bukan manusia, karena tak bisa berbicara.
“Kamu temannya monyet itu, emm maksud saya monyet putih yang awalnya kami sebut monyet itu, kan?”
“Bino?” aku menebak.
“Betul. Dia terlahir dari bangsa kami. Tapi karena ia berwarna putih, ia dianggap sebagai bencana. Karena saya yang tidak berpikir demikian, saya ia bawa dan tinggalkan di duniamu. Sebelum oleh rakyatku dibuang di tempat yang lebih asing,”
“Sebelum kutinggalkan, saya berbisik padanya. Buktikan kalau kau adalah bagian dari kami. Belajarlah. Semoga kau kembali. Lalu saya pergi, dan berharap nasibnya tak jauh seperti saya dahulu,”
Aku terhenyak sedikit heran. Bino adalah yang terusir dari bangsanya karena tak mirip yang lain. Sedang aku adalah manusia yang terpinggirkan karena tak bisa bicara. Lalu kita dipertemukan, seolah untuk saling berpelukan. Seolah untuk saling memberitahu, kalau hidup yang tidak kita inginkan sebenarnya diciptakan oleh orang lain. Betapa aku dan Bino adalah paradoks, kebalikan!
Aku tak kuat menahan amukan di dalam dada. Aku tak mau lagi dengar cerita monyet tadi. Kupaksa katupkan mata sekuat tenaga. Badan gigil. Dan aaaaaaaarrg!!
Aku terbangun dengan keadaan lapar dan haus yang sangat. Benda pertama yang kucari adalah pisang. Tanpa tahu kenapa aku mencari pisang. Aku bangkit dari sofa menuju meja makan. Dalam perjalanan langkah kaki, di dekat almari aku melihat Bino.
Bino sedang berusaha mengenakan kaos, dan sudah berhasil memakai sepasang sepatu. Apa ini yang disebut belajar?
Krubuk krubuk. Perut semakin lapar. Dan aku semakin kepayang pisang!
- Ahmad Ginanjar -